calon cerpen "PERNIKAHAN COKLAT KOPI"
Setiap pagi, kau tak tau betapa sulitnya aku menjaga mata
setelah subuh. Hanya untuk menjaga air dikompor selalu mendidih untuk
kuseduhkan kopi. Setiap pagi itu aku belajar mengaduk kopi, agar bisa kau
cicipi aromanya sebelum kau keluar kamar mandi. Setelahnya sengaja ku letakkan
di lemari hias kamar kita, biat tercium juga kenikmatannya.
'Sayang, aku tak suka kopi, tapi bukan berarti
aku tak mau minum kopi, lagipun sudah kau buatkan' sambil tersenyum, katamu.
Hingga pada suatu pagi dan
entah pagi keberapa, sampai takku dengar lagi kau menggurutui nasib di cangkir
kopi itu. 'kau sudah mulai suka kopi, Tu(H)anku?'
'tidak begitu, tapi karna kau, tak penuh hasrat hati tanpa menghabiskan cangkir ini sebelum pergi' kau tersenyum lagi dan mengecup keningku berkali-kali.
'tidak begitu, tapi karna kau, tak penuh hasrat hati tanpa menghabiskan cangkir ini sebelum pergi' kau tersenyum lagi dan mengecup keningku berkali-kali.
Suatu hari ketika kau berangkat, aku mengikutimu di
belakang, bukan apa-apa hanya saja berkasmu ketinggalan. Tapi diujung jalan, di
warung yg tak menjual kopi, kau berhenti. Memasukinya kemudian mengistrahatkan
diri. Dari seberang jalan aku melihatmu memesan se-cangkir putih entah apa yg
terisi. Aku sengaja memperhatikanmu di ujung jalan. Coklat Baginda, iya itu
coklat. Cukup sampai di situ saja.
Pagi ini aku sediakan coklat panas dicangkirmu, dan kau
menangis. 'aroma apa dicangkirku
pagi ini sayang? Kenapa harum sekali?' tanyamu semangat. 'coklat, coklat panas,
kau lebih suka itu dibanding kopi, maaf untuk kebodohan sekecil ini, hingga
suamiku tertaut di warung setiap pagi mencuci diri bau kopi'. Kau diam, lalu kau datang memelukku. 'aku tak ingin merubah kebiasaanmu'. Kau membuatku takut Baginda, kau
menikahi kopi, tapak sampai ubunku adalah kopi, tak semanis aroma yang hirup.
Kau mencumbui kopi, tapi kau tak pernah benar-benar
membiarkannya mengalir dalam hidupmu. 'aku minta maaf, lain kali rumah kita
akan bebas dari bau kopi, dan akan selalu aku sediakan coklat panas setiap
pagi, yg demikian lebih kau sukai, kau belajar mengopi karna aku, akupun. Tapi
jika suatu saat di atas meja ini tak ada lagi kopi, maka aku bisu, buntu,
luruh, sekarat, kemudian mati bersama racun di cangkir coklatmu.
'Aku tak ada niat kerja hari ini, aku hanya ingin
bercinta dengan kopi-ku sampai nadi dan darahku penuh kopi, jikapun aku harus
kehilanganmu hanya karna kopi, biar aku saja yg lupa aroma coklat yg kubaui'
kau memelukku erat sekali pagi ini. 'aku sama sekali tak marah bila kau tak
menyukai kopi, harusnya tak dikecewakan juga aku hanya karna secangkir coklat
panas' jawabku lirih.
Aku mulai tau kenapa dia tak jujur, sebab tak ingin
penungguan airku teresahkan. Ia bahkan tak ingin
melukaiku sedikitpun. Jelas saja, karna sehabis subuh aku tak tidur lagi,
bukankah dg begini aku bisa melayaninya sepantasnya, dan pagi ini juga aku
tetap tak lupa memanaskan air cinta itu meski yg kuseduh sekarang adalah coklat
dan kopi saja.
'Istriku,
jangan katakan apa-apa lagi, maaf bila pada kopi kau menyeduh luka, harus juga
kau tau, betapa lukanya aku, setiap kali mampir diwarung coklat itu, karna
berarti aku harus menikam hatiku berulangkali karna sudah berkhianat padamu'. Tuhan,
aku bahkan tak mengenal baik suamiku. Takku biarkan dia beranjak barang
sedetikpun. Pagi ini, bilapun tanpa kopi, hati suamiku adalah minuman ternikmat
dibelahan dunia manapun, dan tak ada yg menggantikannya. 'ajarkan aku menyeduh coklat yg baik
baginda' tulusku padanya.
'istriku ini, jauh lebih apapun dari secangkir coklat'.
'istriku ini, jauh lebih apapun dari secangkir coklat'.
Suatu pagi, dan sudah kesekian pagi, pagi inilah yg
paling pagi. Matahari melambatkan geraknya, burung memerdui kicaunya, angin
mendendangkan siulannya, daun berirama gemersiknya. Syurgaku membentang di meja
ini, di matamu, di pelukkan kita. Cangkir kopi dan coklat tersenyum bahagia.
Meneriaki kita,' kenapa kami tidak dicampurkan saja' kita sama terbahak dan
mengilitik cangkirnya.

Komentar
Posting Komentar