DI LADANG SENJA




           
Hidup adalah perjalan panjang. Penantian adalah jeda yang teramat panjang. Penantian mewarnai hidup dan hidup tak berwarna tanpa penantian. Kidungku kidungmu menghiasi jingga. Menyiang luka, menenak kenangan dan menelan segala damba. Kebun kata, dimakamkan segala bahasa, biar luka tak sampai pada keturunannya. Entah cinta atau apa saja. Inilah senja, tanpa patahan kenangan, dan kehendak dalam memuja mitologi. Kehampaan dan sunyi. Kenangankah yang melenyapkan kesepian ataukah kesepian yang menyelamatkan kenangan? Di ladang senja, di sini masa lalu dibunuh. Kesunyian lebih riuh dari keramaian.

Berulang kali dimainkan biolanya, berungkali juga dia gagal memainkannya. Sampai bosan. Hingga menatanya lagi dan membiarkan saja.

: “Berapa kali lagi harus aku katakan! Saluang dan biolamu memekakkan. Berhentilah menyuarakan apa saja.”(mengambang buku bacaan)
: “Aku hanya bersenandung”
: “Sudahi, senandungmu terlalu perih”
: “Jika begitu, biarkan. Biarkan siapa saja mendengar keperihan dari semua ini. Biarkan saluang, bansi, biola, rabab, talempong semua alat ini memekik sunyi di rantau-rantau yang tak kenal perantaunya itu. Biar mereka pulang.” (mengoyangkan kursi goyang)
: “Aku sedang membaca kak. Aku membaca bahwa para perantau itu telah raib diterkam majikannya. Aku berharap ada yang kita kenal di sana. Agar aku bisa berdoa pada yang Kuasa untuk tak menunggu sesiapa kemudian mati sebelum benar-benar senja.”
: “Teganya kau bersumpah sedemikan rupa. Jingga. Dengarlah. Jika suatu ketika sudah tak kau dengar lagi segala suara. Apakah kau akan melakukan yang sama. Tidakah akan pernah lagi kau menungguku memula? Tak adakah rindu yang kau sisakan bagi saudaramu ini Ngga?”
: “Apa? Rindu? Bagaimana cara kau mengejanya ha? Bahkan kau lupa bahwa merekalah yang membusuk, membelah, menekan tepat di antara dua belah dada. Rindu yang bagaimana lagi?”
: “Rindu yang entah dan pada suatu entah yang mana. Aku rindu didendangkan, didongengkan, dinyanyikan, dibelai. Bahkan aku rindu dipanggil.”
: “(mengerling) Kau membuatku semakin membenci mereka kak! Sudah lama aku biarkan kau mengigau sampai parau. Untuk apa kau mengisakkan apa yang tak pantas diterima air mata kita.”
: “iya Jingga, aku lemah. Tak sebatu hati yang kau punya. Tapi ketahuilah, aku mencemaskan hidup kita. Hidupmu hidupku.’
: “kita sudah hidup. Ini sudah hidup. Hidup yang bagaimana lagi”
: “Aku sedang berfikir bagaimana jika mataku buta selamanya. Bagaimana jika kelumpuhan ini tak melahirkan apa-apa. Bagaimana jika aku dan kau tak bisa bersama sampai senja benar-benar tiba.”
: “Bukankah memang tak ada yang abadi?  Jika saja semua ini selamanya. Maka para perantau itu tak ditelan samudra. Maka ibu dan ayah tak pernah meninggalkan kita. Maka aku, maka aku kak, tak perlu berhenti jatuh cinta.”(mengahampiri Senja)
: “Kita memang tak pernah satu arah!”
: “Kau terlalu berperasaan”
: “Kau bahkan tak tau betapa lukanya ketika seorang wanita membunuh diri karna lelakinya dan itu ibu dan ayahku. Kau tak pernah tau bagaimana rasanya melihat laki-laki itu bahagia bersama istri dan keluarga barunya sedang mereka tak sadar telah meniadakan ibuku.”
: “Jangan kau ulangi kata yang sama setiap saat ingin melecutiku. Kau juga tak tau bagaimana rasanya melihat ayah dan ibuku berpisah karna berbeda arah. Kau juga tak tau bagaimana rasanya ditinggalkan sendiri saja sedang ibuku asyik dengan lelakinya yang baru dan baru saja.”
: “Kau dan aku lahir dari rahim yang sama bukan? Luka ibu kita sajak ayah kita. Jadi berhentilah menyalahkan kegagalanku dalam membunuhnya.”
: “Jika saja dulu ibu tidak membodohiku dengan dongeng malin kundang. Barangkali aku sudah mengutuknya. Jika saja yang beliau mengganti ceritanya dengan ular besar di ngarai sianok yang dapat membunuh siapa saja. Maka aku telah lama melompat ke dasarnya.” (membawa buku bacaannya kembali ke dalam. Tak menghiraukan panggilan)

Komentar

Postingan Populer